Siang tadi, dua oranG baik memperhatikanku, kurang lebih 3 meter dihadapanku mereka memberi syarat padaku yang kurang lebih intinya "Pulang aja sana ! kamu pucet loh !" mereka memelankan suara karna kami sedang berada di forum yang agak resmi dengan tersenyum aku bergegas mengambil sesuatu di dalam tas kesayanganku, tadaa.. kupamerkan Lipstk wardah yang sejujurnya warnanya agak norak, oren , atau merah bata, tidak penting intinya, aku tampak pucat karna lupa memakai lipstik, segera ku coret bibirku dengan kuas lipstik, tada, kupamerkan bibirku yang sudah menyala kepada mereka. mereka menggeleng hah ? aku bertanya sebab tidak mengerti "matamu gak bisa bohong ! pulang sana ! istirahat!" lagi2 mereka bicara tanpa suara lekas kubuka kamera depan dari ponsel untuk melihat apa yang terjadi, "lah iya." aku hanya berkedip kedip dan tersenyum pahit. Ingin segera pulang tapi sepertinya aku butuh sekitar satu jam lagi untuk tetap berada di tempat ini ah, lipstik...
A.
Latar Belakang
Fiqh secara definitif adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang
bersifat amaliyah yang di gali dan di temukan dari dalil-dalil yang tafsili
(Syafirudddin, 1997)
Al-Midi memberikan pengertian fiqh adalah ilmu tentang seperangkat
hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah yang di dapatkan melalui penalaran. Dalam
kitab Durr al-Mukhtar (sebuah kitab fiqh perbandingan madzhab, yang dikarang oleh Ulama’ yang bergelar faqih
wa khatimatul muhaqqiqin) disebutkan
bahwa fiqh mempunyai dua makna, yakni menurut ahli usul dan ahli fiqh.
Masing-masing memiliki pengertian dan dasar sendiri-sendiri dalam memaknai
fiqh.
Menurut ahli usul, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum
shara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil yang
tafsil (khusus, terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli usul mengartikan fiqh
adalah mengetahui fiqh adalah mengetahui hukum dan dalilnya.
Menurut para ahli fiqh (fuqaha), fiqh adalah mengetahui hukum-hukum
shara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib,
sunnah, haram, makruh dan mubah.
Sedangkan dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Ushul_Fiqh, ushul fiqh
adalah ilmu hukum dalam Islam yang
mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci
dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil
dari sumber-sumber tersebut. Dari kedua pengertian antara fiqh dan ushul fiqh ,
kita dapat memahami adanya keterkaitan antara fiqh dan ushul fiq , yakni Ilmu
Fiqih merupakan produk dari Ushul Fiqh. Ilmu Fiqh berkembang kerena
berkembangnya Ilmu Ushul Fiqh.
Kita dapat mengambil kesimpulan bawa fiqh dan ushul fiqh adalah dua
disiplin ilmu yang secara global adalah ilmu untuk mendapatkan sebuah hukum ,
mendapatkan sebuah aturan baik yang sudah ada maupun yang belum ada, dapat di
dapatkan dari penalaran atau tinjauan ulang mengenai hukum yang sudah ada
maupun yang belum ada.
Sejak masa nabi sampai di era kontemporer ini, ilmu tersebut ada
dan terus mengalami perkembangan. Karena
kebutuhan ummat akan hukum tidak pernah berhenti .
B.
Sejarah
Perkembangan Ushul Fiqh
1.
Masa Nabi
Nabi Muhammad Di utus menjadi Rasul dengan mukjizat berupa
Al-Qur’an , wahyu Allah yang di sampaikan melalui malaikat jibril kepada beliau,
berangsur-angsur beberapa abad yang lalu bertujuan salah satunya sebagai
petunjuk manusia .
شهر
رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينت من الهدى والفرقان، فمن شهد منكم
الشهر فليصمه ، ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر، يريد الله بكم اليسر
ولا يريد بكم العسر، ولتكملوا العدة
ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون (البقرة :185)
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.” (QS: Al-Baqarah [2]: 185).
Meskipun Al-Qur’an di turunkan secara sempurna, tidak semua ayat Al-Qur’an
dapat di telaah secara mudah sehingga dapat segera di terapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Nabi sebagai penerima wahyu pertama melalui malaikat jibril
memberikan penjelasan kepada ummat perihal ayat-ayat yang dirasa masih sulit di
pahmi , malalui ucapan , pengakuan, dan perbuatanya yang kemudian di sebut dengan
sunnah. Saat itu belum ada nama untuk tindakan telaah ayat alquran
sehingga menghasilkan hukum .
أرأيت لو كان
عليها دين أكنت تقضينة. فقالت : نعم فقال : دين الله أحق بالقضاء
Nabi bertanya kepada Salah seorang sahabat “Bagaimana seandainya ibumu memiliki
hutang, apakah engkau membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.”
Rasulullah berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”
(Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dari Ibnu Abbas. Hadits dengan
makna yang sama diriwayatkan oleh Muslim.)
Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta.
Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta.
Peristiwa tersebut membuktikan bahwa Nabi Muhammad Saw. Pernah
melakukan upaya dalam memecahkan suatu masalah di mana masalah tersebut belum
di jelaskan dalam Al-Qur’an , karena saat itu hukum hanya bersumber dari
Al-Quran dan sabda nabi yang kemudian di sebut dengan sunnah/hadits. Cara nabi tersebut ada yang
menyebutnya dengan ijtihad
Menurut Imam Al-Gazali, ijtihad merupakan upaya maksimal seorang
mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syarak.
Sedangkan menurut Yusuf Qardlawi adalah
mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Penggunaan kata ijtihad
hanya terhadap masalah-masalah penting yang memerlukan banyak perhatian dan
tenaga. Kebolehan ijtihad telah di jelaskan oleh Nabi dalam haditsnya
أنتم
أعلم بأمور دنياكم
“Kamu lebih mengetahui
tentang urusan duniamu.”
2.
Ushul Fiqh di masa Sahabat
Hadits Rasululloh yang membolehkan ijtihad
tidak serta merta membuat para sahabat kala itu lebih memilih memecahkan
masalahnya sendiri, saat itu para sahabat mengutamakan pendapat Rasululloh yang
sudah jelas menjadi penerima Wahyu Allah pertama melalui malaikat jibril ,
sedangkan mereka tahu bahwa hukum Allah adalah Hukum tertinggi.
Perumusan dan pelaksaan ushul fiqh di mulai sejak wafatnya Nabi Muhammad
Saw. Karena sahabat menyadari bahwa Muhammad adalah nabi dan Rasul terakhir, dan setelah kepergian beliau tidak
ada lagi orang yang bisa di tanyai perihal hukum.
Akhirnya perlahan para sahabat mengikuti cara Rasululloh dalam memecahkan
masalah, dengan tetap bersandar pada Hukum tertinggi yakni dalam Al-Qur’an , dan apa yang telah di
sampaikna oleh Rasululloh dalam Hadits / Sunnah.
Ali Bin Abi thalib
menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum Khamar , beliau
berkata , “ bila ia minum ia akan mabuk , dan bila ia mabuk , ia akan menuduh
orang berbuat zina secara tidak benar, maka kepadanya di berikan sanksi tuduhan
berbuat zina. “ dari pernyataan Ali tersebut , dapat di ketahui bahwa Ali
menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al-
dzari’ah. Sedangkan pada masa Umar Bin Khotob, Umar dihadapkan seorang pencuri
bernama Alamah al-Hatib binAbi Baltaah. Pencuri itu mengakui perbuatannya dan
Umar pun segera memerintahkan agar kepadanya dilakukan hukuman potong tangan.
Pada waktu itu sedang musim kelaparan. Ketika hukuman segera dijalankan,
tiba-tiba Umar melarangnya sambil mengatakan bahwa seandainya ia tidak
tahu bahwa orang ini melakukan pencurian karena kelaparan niscaya akan ia
potong tangannya. Kemudian pencuri itupun segera dibebaskan dari hukuman potong
tangan atas dasar pendapat Umar tersebut.(Mudzhar ,1998:54)
Dari kedua contoh tersebut,
telah jelas bahwa masa sahabat ushul fiqh mulai berkembang meski tidak ada nama
ilmu tersebut. Sahabat telah melakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu
meski tidak di rumuskan dengan jelas.
3.
Masa Tabi’in
Di era tabiin banyak
bermunculan ulama yang memeberikan penjelasan hukum terhadap banyak nya maslah
yang bermunculan . Karena jaman juga berubah , maka permasalahan yang timbul
juga semakin komleks. Misalnya Sa’id Ibn Musayyab di Madinah dan ibrahim naki
di Irak. Mereka adalah ulama tabi’in yang terkenal amat paham dengan Al-Quran
jugaAs- Sunnah. Ketika di hadapkan dengan suatu masalah , mereka mencoba mencari
jawaban hukum dari Al-Quran dan Hadits, apabila tidak di temukan maka barulah
mereka mencari jawaban dengan menggunakan Metode Qiyash atau metode maslahat
(Syarifuddin , 1997:37)
Di masa tabiin cara
metode merumuskan hukum syara semakin beragam dan berbeda-beda. Hal ini di
pengaruhi oleh:
faktor
kultural, domisili atau tempat
tinggal yang keadaannya sangat jauh berbeda membuat fuqaha Hijaz dan Irak memiiliki
kecenderungan sendiri dalam meyimpulkan suatu hukum. Irak adalah negara yang
letaknya jauh dari bumi kenabian serta banyak mendapat pengaruh kebudayaan dan
peradaban lain dari luar Irak terutama pengaruh pemikiran pemikiran dari bangsa
barat. Fuqaha daerah ini sering dihadapkan pada berbagai persoalan dan problematika kehidupan yang sangat
beragam.
Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut sulit bagi mereka untuk menanyakan
pemecahan permasalahan tersebut kepada para tabiin yang langsung belajar dari
sahabat karena letak Irak yang jauh dari Makkah atau Madinah. Hal ini membuat
fuqaha Irak terpaksa memakai ijtihad dan rasio. letak Hijaz yang tak jauh dari
Madinah dan yang pada saat itu merupakan gudangnya ilmu keislaman membuat
fuqaha Hijaz lebih mudah untuk belajar langsung kepada ulama-ulama Madinah dan
mereka juga tidak perlu berijtihad karena sudah ada fatwa-fatwa sahabat yang
bisa mengatasi pesoalan yang mereka hadapi. Selain itu, masyarakat daerah ini
masih diliputi oleh suasana kehidupan sederhana, seperti keadaan pada masa Nabi
SAW. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam kondisi seperti ini para fuqaha
merasa cukup dengan hanya mangandalkan pemahaman literal terhadap
Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ sahabat. Karena itulah mereka tidak merasa perlu berijtihad
seperti fuqaha Irak
Sedangkan
faktor struktural yang mempengaruhi perbedaan kecenderungan antara
fuqaha Hijaz dan fuqaha Irak diantaranya adalah pengaruh metodologi sahabat.
Fuqaha Madinah seperti Abdullah bin ‘Amr bin Ash dan Zubair Abdullah bin Umar
yang tidak mau menggunakan rasionalitas dalam menyimpulkan suatu hukum serta
memandang nash secara literalis.hal ini mempengaruhi tabiin yang berguru
pada beliau. Fuqaha Madinah cenderung mempertahankan ketentuan apa yang
tertulis dalam nash secara dhahiriyah tanpa melakukan penafsiran yang
lebih lanjut kecuali dalam keadaan terpaksa.
Berbeda
dengan fuqaha Irak yang terpengaruh oleh pemikiran
Umar bin Khattab yang cenderung bersifat rasional. Sehingga ketika Ibnu Mas’ud
mengajarkan keislaman pada muridnya beliau juga mewarisi kecenderungan
pemikirannya tersebut.
Pemaparan
di atas , oleh Manna’ al-Qatthan seorang profesor dan pembimbing pascasarjana
di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud telah melahirkan dua tradisi besar
dalam sejarah pemikiran Islam. Keduanya adalah tradisi pemikiran Ahl al-Ra’y
dan tradisi pemikiran Ahl al-Hadits. Menurutnya, mereka yang
tergolong Ahl al-Ra’y dalam menggali ajaran Islam banyak menggunakan rasio
(akal). Sedangkan mereka yang tergolong Ahl al-Hadits cenderung memarjinalkan
peranan akal dan lebih mengedapankan teks-teks suci dalam pengambilan
keputusan agama. Di masa tabi’in ini lahirlah imam yang cukup masyhur
a.
Abu hanifa
Abu Hanifa dalam merumuskan fiqh nya menggunakan metode sendiri, yakni
menetapkan Alquran sebagai sumber pokok , kemudian hadits nabi , kemudian fatwa
sahabat. Ia mengambil hukum-hukum yang telah di sepakati para sahabat dalam
hal-hal yang ulama sahabat berbeda pendapat , ia memilih satu di antaranya yang
di anggap lebih kuat, Abu Hanifah tidak mengambil pendapat ulama tabiin sebagai
dalil dengan pertimbangan bahwa ulama tabiin berada dalam satu rangking
dengannya. Metodenya dalam menggunakan qiyash dan ihtisan terlihat nyata
sekali. (Syarifuddin ,1997:37)
b.
Maliki
Imam maliki menempuh metode ushluhi yang lebih jelas menggunakan tradisi
yang hidup di kalangan madinah, sebagaiman yang di nyatakan dalam buku dan
risalahnya. Terlihat usaha menolak hadits
yang di hubungkan kepada nabi karena hadits itu menyalahi nash alquran .
Imam malikki lebih banyak menggunakan hadits karena saat itu hadits banyak di
temukan. Dalam menggunakan Qiyas , Imam Malik memberikan persyaratan yang cukup
berat. Imam malik menggunakan maslahat mursalah yang tidak di gunakan ulama
jumhur sebagi imbangan dari ihtihsan yang di gunakan abu Hanifah. Metode yang
di gunakan Imam Malik dalam merumuskan hukum Syara’ merupakan pantulan dari aliran
hijaz sebagai mana metode yang di gunakan Abu Hanifah merupakan pantulan dari
aliran Irak.
c.
Imam Syafii
Imam Syafii lahir jauh setelah imam Hanafi dan iMam Malik. Di masa imam Syafii
, perbendaharaan fiqh sudah cukup berkembang, karena sudah berkembang dari masa
sahabat dan tabiin yang hidup sebelum beliau. Dan di masa imam Syafii banyak
terdapat perbincangan fiqh di anatara para tokoh yang berbeda pendapat.
Perdebatan terbuka berlangsung di antara kubu madinah dan kubu irak. Imam
Syafii menggali pengalam dalam berbagai diskusi di tengah tokoh-tokoh yang
berbeda pendapat. Ia memilki pengetahuan tentang imam maliki yang di terimanya
dari imam Malik. Ia juga sempat menimba pengetahuan dan pengalaman dari
Muhammad ibn Hasan Al-Syaibani , ia adalah murid Imam Abu Hanifah sewaktu ia
berada di Irak.Selain itu ia pun mendalami fiqh ulama mekah tempat ia lahir dan
berkemban g. Modal pengalaman dan pengetahuannya itu memberi petunjuk kepada imam
Syafii untuk meletakan pedoman dan neraca berpikir yang menjelaskan lang
kah-langkah yang harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya.
Metode berpikir yang di rumuskan imam syafii itulahyang kemudian di sebut ushul
fiqh.
N.J. Coulson seorang orientlis Inggris mengemukakan bahwa Imam Syafii
adalah arsitek ilmu Fiqh, karena Imam Syafii mampu menyusun ilmu tersebut
secara sistematis sehingga dapat menjadi disiplin ilmu tersendiri meskipun
sebenarnya jauh sebelum imam Syafii , sahabat, tabiin dan ulama Syiah sudah
menemukan dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqh.
Kemampuan Imam Syafii dalam melahirkan ilmu ushul fiqh di pengaruhi oleh
pengalaman dan pengetahuannya yang luas. Imam Syafii lama tinggal di peradaban arab,
dan memungkin kan beliau belajar bahasa arab, dengan ilmu tersebut beliau dapat
belajar ilmu-ilmu lain yang berkembang di sana sehingga memilki kemampuan yang
tinggi dalam merumuskan kaedah untuk menghasilkan hukum syara dari teks alquran
dan hadits yang keduanya menggunakan bahasa arab orisinil. Setelah itu beliau
berada di makkah dan belajar alquran dari Abdulloh Ibn Abbas sehingga beliau
mengenal nasakh dan mansukh, selain Alquran beliau juga berusaha memelajari
hadits yang memungkinkanya mengenal kedudukan sunnah bagi alquran sehingga
beliau dapat menyelesaikan pendapat dan anggapan adanya pertentangan antara
Alquran dan hadits nabi. Penguasaanya terhadap fiqh aliran tradisionalis
(Hijaz) dan fiqh rasional (Irak ) adalah modal dasar dalam penggunaan Qiyas.
Selepas meninggalnya Imam Syafii, para ulama fiqh pengikut imam mutjahid
yang datang kemudian mengikuti dasar-dasar yang telah disusun imam syafii yang
menyebabkan adanya perbedaan arah dalam ushul fiqh.
Sebagian ulama pengikut imam syafii mencoba mengembangkan ushul fiqh imam
Syafii dengan cara mensyarah , memerinci yang bersifat garis besar, memercabang
pokok-pokok, sehingga pemikiran ushul fiqh imam syafii menemukan bentuk yang
sempurna.
Sebagian ulam mengambil dari pokok-pokok pikiran imam Syafii, dan meninggalkan
yang cabang-cabang, dan untuk melengkapi yang tidak di ambilnya itu, mereka
menambahkan dari imam yang telah di anutnya lebih dahulu.
Kelompok imam Abu Hanifa mengambil sebagian yang dasar-dasarnya telah di
letakkan imam Syafii, kemudian mereka menambahkan pemikiran tentang ihtisan dan
urf yang di ambil dari imam mereka
Kelompok ulam malikiyah , di samping mengikuti beberapa dasar yang telah di
letakkan imam sayafii mereka tidak menikuti pendapat syafii yang menolak ijma
ahli madinah dan memasukkan tambahan berupa maslahat mursalah serta prinsip
penetapan hukum berdasarkan sad Al-Dzarai
4.
Era kontemporer
Setelah masa pembukuan kitab-kitab ushul fiqh yang di tulis oleh imam
Syafii, yang antara lain diberinya judul al-Kitab dan kemudian
dikenal dengan sebutan al-Risalah yang berarti sepucuk surat, muncul
berbagai kitab ushul Fiqh antara lain
a.
Kitab Al-Mu’tamad karangan Hasan
Al-Basri , yang beraliran muktazilah
b.
Kitab Al-Burhan karangan Imam
Haramain
c.
Kitab Al-Mustashfa karangan
Al-Ghazali
Ketiga kitab tersebut muncul dari pnerapan dan kaidah fiqh yang
tidak dipengaruhi oleh mazhab manapun sebagai hasil daripengembangan fiqh salah
satunya adalah fiqh murni
Selain fiqh murni , ada juaga penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh
pada furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad sebelumnya . Ulama fuqoha yang
banyak menggunakan aliran ini adalah kelompok ulama hanafiyah, kitab nya antara
lain adalah
a.
Kitab ushul karangan Al- Karahki
b.
Kitab a Al- ushul karangan Abu Bakar
Al-Razi
c.
Kitab Tasi’Al Nazhar karangan
Al-Dabbusi
Di era kontemporer ini, ushul fiqh terus berkembang dan mengalami
kesemurnaan , sehingga memudahkan kita dalam memelajarinya demi mendapat dasar
hukum yang dapat kita terapkan dalam menata kehidupan sehari-hari. Ilmu ushul
fiqh tidak pernah kadaluarsa , ia terus digunakan di semua masa.
C.
Kesimpulan
Ushul Fiqh merupakan suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri .Ilmu ini
tidak lahir dengan sendirinya, akan tetapi lahir akibat proses pemikiran para
ulama atas dasar dasar dan alasan-alasan terhadap kejadian-kejadian yang
memebutuhkan hukum yang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah belum begitu jelas atau
belum ada.
Masa ini di mulai sejak masa NabiAllah Muhammad Saw. Meski padamasa Beliau
belum secara tegas disusun sebagai disiplin ilmu, Setelah wafatnya Rasululloh,
di era sahabat inilah perkembangan Ushul Fiqh semakin terasa meski lagi-lagi di
era ini belum menjadi disiplin ilmu sendiri. Kemudian di era tabi’i pemikiran
serius terhadap hukum terbagi dalam dua golongan, yakni madinah dan Irak.
Setelah itu, lahirlah Imam Syafii yang atas ilmu pengetahuan dan pengalamanya
berhasil melahirkan ushul fiqh sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Sampai di era kontemporer ini ushul Fiqh terus mengalami penyempurnaan dan dapat di manfaatkan dalam kehidupan
sehari-hari,
DAFTAR PUSTAKA
Hamid, M Arifin. 2011.
HUKUM ISLAM Perspektif Keindonesiaan. PT Umitoha Ukhuwah Grafika:
Makassar.
Mudzhar, Atho. 1998. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan
Liberasi. Titian Ilahi Press: Yogyakata:
Shihab, Quraish. 2000. Wawasan
Al-Qur’an. Mizan: Bandung.
Sirry, Mun’im A, 1996. Sejarah Fiqih Islam.
Surabaya. Risalah Gusti.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Logos Waacana
Ilmu
http://bentukdanisi.blogspot.com/2012/07/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_4343.html (Senin 5 Mei
2015 pukul 17:00)
http://holiqs.blogspot.com/2014/02/makalah-hubungan-fiqh-dengan-ushul-fiqh.html (Senin 5 Mei
205 Pukul 20:15 )
Komentar
Posting Komentar