Siang tadi, dua oranG baik memperhatikanku, kurang lebih 3 meter dihadapanku mereka memberi syarat padaku yang kurang lebih intinya "Pulang aja sana ! kamu pucet loh !" mereka memelankan suara karna kami sedang berada di forum yang agak resmi dengan tersenyum aku bergegas mengambil sesuatu di dalam tas kesayanganku, tadaa.. kupamerkan Lipstk wardah yang sejujurnya warnanya agak norak, oren , atau merah bata, tidak penting intinya, aku tampak pucat karna lupa memakai lipstik, segera ku coret bibirku dengan kuas lipstik, tada, kupamerkan bibirku yang sudah menyala kepada mereka. mereka menggeleng hah ? aku bertanya sebab tidak mengerti "matamu gak bisa bohong ! pulang sana ! istirahat!" lagi2 mereka bicara tanpa suara lekas kubuka kamera depan dari ponsel untuk melihat apa yang terjadi, "lah iya." aku hanya berkedip kedip dan tersenyum pahit. Ingin segera pulang tapi sepertinya aku butuh sekitar satu jam lagi untuk tetap berada di tempat ini ah, lipstik...
“Tren Perkawinan di
Bawah Umur”
Disusun Oleh : Nur
Fitria Primastuti
211-13-044
A.
Pendahuluan
Pernikahan merupakan sunatulloh dimana nikah itu sendiri
merupakan kebutuhan bagi tiap-tiap individu ciptaan Allah Swt. Disamping untuk
memenuhi kebutuhan biologis, menikah memilki tujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal serta untuk meneruskan generasi agar tidak punah.
Dewasa ini, dilingkungan sekitar
kita banyak terjadi fenomena penyimpanagn terhadap pernikahan , seperti yang
baru-baru ini terjadi di boyolali yakni nikah sesamsa jenis yang di anggap
sangat tidak masuk akal. Selain itu muncul juga tren-tren dalam perkawinan yang
lain salah satunya adalah nikah di usia dini (selanjutnya perkawinan di usia
dini) yang selalu menjadi topik yang tidak pernah bosan untuk dibahas dan
diperdebatkan mengingat perkawinan usia dini sangat sering terjadi di
masyarakat bahkan hampir di seluruh wilayah terdapat kasus perkawinan usia
dini.
Perkawinan usia yang di pengaruhi
oleh berbagai faktor ini memilki dampak yang beraneka ragam di masyarakat.
B.
Pengertian
Perkawinan
Perkawinan adalah suatu tindakan
yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
untuk membentuk suatu keluarga yang dapat menimbulkan akibat hukum . Hal ini
seperti pengertian perkawinan menurut Bab I Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun
1974 Tentang “Perkawinan”, yakni perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan dalam Fiqh Islam,
perkawinan berasal dari 2 kata , yakni An-Nikah
dan Al-Wathi’ yang artinya
persetubuhan, bergabung , atau berhubungan kelamin dan juga berarti akad. Dalam arti
terminologis dalam kitab-kitab fiqih banyak diartikan dengan akad atau
perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan
lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja ( Syarifuddin: 2003: 74)
Dalam Kompilasi Hukum Islam
sendiri, pengertian perkawinan ada dalam
Bab II dasar-Dasar Perkawinan Pasal 2, Perkawinan menurut hukum islam adalah
pernikahan, yakni akad yang sangat kuat atau mitsaqon Gholidon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakanya
merupakan ibadah.
Ketiga Pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa perkawinan atau pernikahan adalah akad yang sangat kuat
antara laki-laki dan perempaun untuk membentuk sebuah keluarga yang kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
C.
Rukun
dan Syarat Perkawinan
Rukun dan Syarat adalah 2 hal
yang perlu di ketahui dalam semua bentuk ibadah termasuk perkawinan. Keduanya
memilki perbedaan yakni syarat merupakan hal-hal yang harus dipenuhi di luar
tindakan ibadah itu, sedangkan rukun merupakan hal-hal yang ada dalam tindakan
atau ibadah tersebut.
Perkawinan dapat menimbulkan akibat
hukum, sehingga perkawinn tidak dapat di
lakukan tanpa terpenuhiya hal-hal yang harus di penuhi. Baik dalam islam maupun
menurut hukum positif, terdapat syarat yang harus dipenuhi kedua calon mempelai
untuk dapat melakukan perkawinan.
Menurut jumhur ulama rukun
perkawinan ada 5, dan masing-masing rukun itu mempunyai syarat tertentu. Syarat
dan rukunnya adalah ; (1) shighat (ijab-kabul) (2) kedua calon mempelai (3) wali
(4) saksi. (Ash-Shideqy: 2001: 222)
Kompilasi Hukum Islam pasal 14
menyatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada : (1) Calon suami, (2)
Calon istri, (3) Wali nikah, (4) Dua saksi, (5) Ijab dan Qobul
Sedangkan syarat-syarat nikah
dalam UU Perkawinan di atur dalam Bab II
Syarat-syarat Perkawinan pasal 6- Pasal 12. Pasal tersebut menyubutkan
syarat perkawinan antara lain yakni
perkawinan harus atas persetujuan kedua calon mempelai,kedua calon mempelai mencapai
usia yang di tetapkan, kedua calon mempelai bukan termasuk orang yang tidak boleh dinikahi.
1.
Shighat (Ijab-Qabul)
Pengertian akad nikah menurut KHI
dalam pasal 1 bagian c akad nikah ialah: rangkaian ijab yang diucapkan oleh
wali dan Kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh
2 orang saksi.
2.
Sifat-sifat/ syarat calon kedua mempelai yang baik
Sifat-sifat calon mempelai yang
baik seperti yang digambarkan oleh nabi Muhammad ialah dalam sebuah hadits
“Nikahilah seorang wanita yang
mempunyai ciri-ciri empat dari hartanya, dari keturunannya , dari dari
kecantikannya, dari agamanya.
Diriwayatkan oleh Bukhari“.
Untuk syarat seorang laki-laki
sama dengan sifat yang dimiliki oleh seorang wanita tinggal kebalikanya.
Syarat-syarat
calon suami lainnya adalah:
a.
Tidak
dalam keadaan ihrom, meskipun diwakilkan.
b.
Kehendak
sendiri
c.
Mengetahui
nama, nasab, orang, serta keberadaan wanita yang akan dinikahi.
d.
Jelas
laki-laki
Syarat-syarat calon
istri:
a.
Tidak
dalam keadaan ihrom
b. Tidak bersuami
c.
Tidak
dalam keadaan iddah (masa penantian)
d. Wanita
Dalam
undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal enam:
a.
Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua mempelai.
b. Untuk
melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 harus mendapat
izin orang tua.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa: untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 UU No 1 tahun 1974
yakni calon suami berumur 19 tahun dan calon istri sekurangnya berumur 16
tahun.
3.
Wali
Wali adalah rukun dari beberapa
rukun pernikahan yang lima, dan tidak syah nikah tanpa wali laki-laki. Sesuai
dengan yang dijelaskan dalam KHI pasal 19 bahwa wali nikah adalah rukun yang
harus dipenui
Syarat-syarat
wali :
a.
Islam
b.
Sudah
baligh
c.
Berakal
sehat
d.
Merdeka
e.
Laki-laki
f.
Adil
g.
Sedang
tidak melakukan ihram
Sedangkan
yang diprioritaskan menjadi wali:
a.
Bapak.
b.
Kakek
dari jalur Bapak
c.
Saudara
laki-laki kandung
d.
Saudara
laki-laki tunggal bapak
e.
Kemenakan
laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung)
f.
Kemenakan laki-laki (anak laki-laki
saudara laki-laki bapak)
g.
Paman dari jalur bapak
h.
Sepupu
laki-laki anak paman
i.
Hakim
bila sudah tidak ada wali –wali tersebut dari jalur nasab.
4.
Saksi
Sudah cukup jelas.
Sekurang-kurangnya adalah dua orang.
D. Pengertian Perkawinan Dini
Perkawinan
Usia dini adalah perkawinan yang dilakukan oleh mempelai yang masih berusia diniatau
belum mencapai batas dewasa yang ditentukan oleh Undang Undang. Dalam Hukum
Perdata pasal 330, seorang dikatakan dewasa apabila telah mencapai umur 21.
Sebelum munculnya UU perkawinan Tahun 1974, batas usia dewasa menurut hukum
Perdata menjadi batasan dewasa sebagai
syarat minimal umur dalam perkawinan.
Setelah
munculnya UU perkawinan tahun 1974, maka batas usia perkawinan menjadi lelaki
19 tahun dan perempuan minimal 16 tahun seperti yang dinyatakan dalam pasal 7
UU ini. Mengingat salah satu asas hukum bahwa UU/ Peraturan yang baru
menggugurkan UU/ peraturan yang lama, maka lahirnya UU perkawinan yang salah
satunya mengatur umur minimal mempelai yakni 19 untuk laki-laki dan 16 untuk
perempuan menghapus/ menggugurkan aturan sebelumnya dimana umur mempelai
minimla 21 tahun sesuai dalam hukum Perdata.
Sedangkan
dalam fiqh sendiri tidak ada aturan mengenai batasan umur perkawinan sehingga
dalam islam tidak di kenal dengan perkawinan di bawah umur, akan tetapi dalam
hukum islam lebih menekankan pada kesiapan mempelai yakni kedewasaan .
Dari pengertian
diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan dini adalah perkawinan yang
dilangsungkan oleh mempelai yang belum mencapai batas minimal sebagai calon
mempelai baik salah satu mempelai atau kedua-duanya.
E. Perkawinan Dini di Masyarakat
Perkawinan
usia dini bukan merupakan suatu hal yang baru di masyarakat. Perkawinan dengan
mempelai yang masih dibawah umur ini terjadi di hampir seluruh masyarakat baik
di perkotaan maupun di pedesaan. Bahkan jumlah perkawinan ini tergolong cukup
fantastis.
Laporan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) pada bulan Juni 2011 saja untuk usia kawin pertama penduduk wanita kurang dari usia 20 tahun di seluruh Jawa Timur mencapai 6.847 orang
atau 19,88 persen dari
seluruh perkawinan pertama penduduk wanita di semua usia sebesar 34.443
orang. Jumlah tertinggi angka
perkawinan pertama penduduk wanita
usia yang sama adalah yang terjadi di Kabupaten Malang yakni dengan 887
perempuan atau 29,09 persen dari total pernikahan 3.049. Sementara prosentase
tertinggi dibanding seluruh jumlah pernikahan pada usia tersebut di tempatnya
adalah Kabupaten Bondowoso sebesar 196 atau 49,75 persen dari total pernikahan
394 orang.
Banyaknya
perkawinan usia dini yang terjadi , di pengaruhi oleh banyak hal seperti
rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai aturan batas minimal usia
perkawinan, kurang pahamnya masyarakat tentang kesehatan reproduksi dan kesiapan fisik pelaku
perkawinan usia dini, adat perjodohan yang masih kuat di beberapa daerah sampai
kepada pergaulan anak yang terlalu bebas
sehingga hamil diluar nikah padahal usianya masih di bawah umur, dan berbagai
faktor lainnya.
Dalam
sebuah iklan untuk masyarakat dari BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga berencana
nasional) pernah menayangkan usia pernikahan yang ideal yakni laki-laki minimal
25 dan perempuan 21 dimana pada usia tersebut baik laki-laki maupun perempuan
telah di anggap matang secara fisik maupun psikis sehingga siap untuk membangun
rumah tangga.
Tidak
semua masyarakat menganggap pernikahan usia dini adalah suatu hal yang
negative, tapi tidak sedikit juga masyarakat yang mencemooh perbuatan orang tua
yang menikahkan anaknya padahal usia sang anak tergolong masih belia. Sebab
sebab terjadinya nikah usia dini antara lain disebabkan oleh hal –hal berikut:
1.
Latar
Belakang keluarga yang kurang memahami batas-batas usia perkawinan
2.
Pendidikan
yang rendah
3.
Tradisi
penjodohan anak yang masih di bawah umur yang terjadi di beberapa masyarakat
adat
4.
Untuk
mencukupi kebutuhan ekonomi, karena anak permepuan yang telah dinikahi akan
ikut pihak suami dimana nafkah sang anak perempuan menjadi tanggung jawab
suaminya sehingga keluarga merasa beban terkurangi.
5.
Untuk
menjaga nama baik keluarga , bila pasangan yang melakukan perkawinan usia dini
adalah pasangan yang terlanjur hamil padahal usia masih belia.
6.
Dan
masih banyak lagi.
Pernikahan
memang merupakan sunatulloh, dimana
melakukaya adalah bentuk ketaatan kepada Allah, akan tetapi menikah di usia
yang belum cukup dapat mengakibatkan hal hal yang tidak di inginkan misalnya
perceraian, karena pasangan belum memiliki kematangan psikis sedangkan dalam
berumah tangga perlu adanya kedewasaan di kedua pihak. Kekerasan dalam Rumah
tangga yang lagi-lagi merupakan akibat dari kurang matangnya atau kurang
dewasanya suami istri. Kesehatan yang terganggu karena organ-organ yang dinilai
belum matang.
Berikut
dampak perkawinan usia dini yang sering dijumpai dalam masyarakat:
1. Resiko kehamilan yang tinggi karena
usia organ-organ reproduksi yang kurang matang.
2. Banyak terjadi perceraian dikalangan
perkawinan usia dini sebagai akibat belum matangnya psikis di antara pihak
suami maupun isteri.
3. Keluarga yang tidak harmonis, yang
disebabkan oleh psikis yang belum siap dan ekonomi yang rendah, karena pihak suami
maupun isteri belum berada pada umur siap kerja sehinga tidak tercapainya
pernikahan yang bertujuan membentuk keluarga yan harmonis dan bahagia
4. Terenggutnya masa muda kedua pihak
juga pendidikan yang terbatasi karena di usia belia sudah harus mengurus rumah
tangga.
F. Perkawinan Dini ditinjua dari hukum
positif dan fiqh
UU Perkawinan
tahun 1974 menjelaskan mengenai syarat perkawinan salah satunya adalah batasan
umr calon mempelai yakni minimal 19 tahun untuk laki laki dan minimal 16 tahun
untukperempuan, hal ini termuat dalam pasal 7. Meskipun sudah di beri batasan
umur di bolehkanya menikah, namun masih ada saja pasangan belia yang mengajukan
perkawinan kepada pihak yang berwenang setempat. Baik laki-lakinya maupun
perempuanya atau bahkan keduanya belum mencapai usia minimal kawin dengan
berbagai alasan. Hal ini
tentu menyimpang dari hukum positif yang berlaku, khususnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Dalam hal penyimpangan terhadap pasal
7 UU No.1 tentang perkawinan dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau
pejabat lain yang di tunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita
seperti dalam Buku Hukum Perkawina Nasional karya Prof. Drs. Sudarsono
hal. 41-43 tahun 2005
Dewasa ini ketentuan-ketentuan
yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang berlaku
sejak disahkanya UU perkawinan secara lengkap diatur dalam Peraturan Mentri Agama
No. 3 tahun 1975, yakni :
1.
Pasal
12 menitik beratkan pada dispensasi bagi anak yang belum mencapai umur minimum,
yakni :
a.
Pernikahan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
b.
Seorang
calon mempelai yang aan melangsungkan pernikahan sebelum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat ijin sebagaimana dia atur pasal 6 ayat 2,3,4,5 UU No. 1 tahun
1974.
2.
Pasal
13 Mengatur prosedur pemahaman dispensasi bagi anak yang belum mencapai umur
minimum, yakni:
a.
Apabila
calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan calon istri belum mencapai 16
tahun hendak melangsungkan pernikahan harus mendapat dispensasai dari
pengadilan agama
b.
Permohonan
dispensasi nikah bagi mereka disebut dalam ayat 1 pasal ini, di ajukan oleh
kedua orang tua pria maupun wanita kepada pengadilan agama yang mewilayahi
tempat tinggalnya
c.
Pengadilan
agama setelah memeriksa dalam
persidangan dan berkeyakinan bahwa
terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka
pengadilan agama memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan.
d.
Salinan
Penetapan itu di buat dan di berikan kepada pemohon untuk memenuhi persyaratan
pernikahan
Jadi,
menurut hukum positif, ketika calon pasangan perkawinan usia dini hendak
mengajukan perkawinan maka atas ijin kedua orangtua/wali calon mempelai harus mengajukan dispensasi
nikah kepada Pengadilan Agama setempat. Hakim akan menggunakan banyak
pertimbangan diperbolehkan atau tidaknya pernikahan .
Sedangkan
perkawinan usia dini dalam kaca mata fiqh sendiri sebenarnya tidak di atur
secara mutlak karena hukum islam tidak membatasi usia minimal perkawinan. Dalam
Alquran syarat orang yang ingin menikah adalah orang yang siap dan mampu, hal
ini dijelaskan dalam Q.S An Nuur : 32
“Dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui
Dalam islam yang disebut orang yang
layak kawin salah satunya adalah yang sudah baligh, yakni di tandai dengan
keluarnya air mani bagi laki-laki dan haid bagi perempuan. Apabila dari
keduanya baik laki-laki maupun perempuan yang mengalami masalah dalam
perkembangan biologisnya maka ia di anggap baligh bila telah berumur 15 (lima
belas) tahun bagi pria, dan wanita berumur 9 tahun.
Terkait dengan prinsip kedewasaan
dalam perkawinan, para ulama cenderung tidak membahas batasan usia perkawinan
secara rinci namun lebih banyak membahas tentang hukum mengawinkan anak yang
masih kecil.
Perkawinan anak yang masih kecil
dalam fiqh disebut nikah ash shaghir/shaghirah atau az-zawaj al mubakkir.
Shaghir/shaghirah secara literal berarti kecil. Akan tetapi yang dimaksud
dengan shaghir/shaghirah adalah laki-laki/perempuan yang belum baligh (Hussein:
2007: 90 )
Perkawinan di bawah umur tidak lepas
dari hak ijbar yaitu hak wali (ayah/kakek) mengawinkan anak perempuannya tanpa
harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan
yang akan dikawinkan tersebut, asal saja ia bukan berstatus janda. Seorang ayah
bisa mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil dan perawan selama belum
baligh tanpa izinnya dan tidak ada hak khiyar bagi anak perempuan itu jika dia
telah baligh. Sebaliknya, ayah tidak boleh mengawinkan anak laki-lakinya
yang masih kecil . (Ash-Shiddieqi: 2001: 232)
Ibn Syubrumah memiliki pandangan
yang berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas. Beliau berpandangan
bahwa anak laki-laki ataupun anak perempuan di bawah umur tidak dianjurkan
untuk dikawinkan. Mereka hanya boleh dikawinkan setelah mencapai usia baligh
dan melalui persetujuan yang berkepentingan secara eksplisit (Hussein: 2007: 100)
Majelis Ulama’ Indonesia memberikan
fatwa bahwa usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan
menerima hak (ahliyatul ada’ dan ahliyyatul wujub)
Ahliyyatul Ada’
adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna
untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya baik perbuatan yang bersifat
positif maupun negatif.
Ahliyyatul Wujub adalah
sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya dan belum
cakap untuk dibebani seluruh kewajiban
G.
Kesimpulan
Perkawinan usia dini adalah
perkawinan yang dilakukan oleh mempelai yang usianya belum di anggap dewasa
baik menurut Hukum Positif maupun Hukum Agama (Fiqh). Menurut UU perkawinan
Tahun 1974 syarat usia nikah adalah laki-laki minimal 19 tahun dan perempuan 16
tahun. Sedangkan dalam islam tidak mengatur tentang usia minimal perkawinan namun
lebih menekankan kepada kesiapan secara lahir dan batin mempelai.
Dewasa menurut hukum islam adalah
baligh, sehingga syarat nikah dalam adalah baligh. Namun dalam fiqh islam ada
pernikahan anak-anak dimana ayah/kakek selaku wali menikahkan anak putrinya
yang masih kecil tanpa atau dengan sepengetahuan putrinya, dengan syarat-syarat
yang harus di penuhi.
Dalam pandangan masyarakat
sendiri nikah diusia dini dianggap sesuatu yang biasa karena saking banyaknya
pernikahan terebut terjadi di masyarakat.
Meskipun begitu, nikah diusia
dini mesti di waspadai karena bila dari kedua mempelai belum memilki kematangan
secara osikis maka resiko perceraian atau kekerasan sangatlah besar.
Akan tetapi pasangan belia yang
masih di anggap beradapada usia dini benar-benar akan melangsungkan perkawinan
maka kedua orangtua/walinya dapat mengajukan dispensasi nikah kepada pengadilan
agama setempat. Bila Hakim menyetujui maka mereka boleh menikah.
Umur memang bukan satu-satunya
unsur yang mesti dipatuhi dalam melangsungkan perkawinan, akan tetapi, kematangan dan kesiapan umur mempelai dapat
mengentarkan kepada keluarga yang bahagia dan kekal. Disamping umur, ilmu dari
kedua calon mempelai juga harus di siapkan , Jangan sampai menjadi isteri
karena sudah memilki suami, janagn sampai menjadi ibu karena sudah memilki
anak, namun jadilah iseri karena sudah berilmu tentang isteri, dan jadilah ibu
karena sudah berilmu tentang ibu juga.
DAFTAR PUSTAKA
(Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi
Fatwa se Indonesia III Tahun 2009), 2009. Jakarta : Majelis Ulama Indonesia
Ash
Shiddiqey, Tengku Muhammad Hasbi. 2001.
Hukum-Hukum Fiqh Islam (Tinjauan Antar Madzhab). Semarang : Pustaka Rizki Putra
Hussein,
Muhammad, 2007. Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender), Yogyakarta : LKiS,
Mentri Agama. 2007. Nurul Qur’an, Mushaf Al-Quran
terjemah. Bandung. CV. Insan Kamil
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana
Sudarsono. 2005. Hukum Perkawina Nasional. Jakarta:
Rineka Cipta
Undang-Undang R.I No. 1 Th. 1974
tentang Perkawinan & Kompilasi Hukum Islam. 2015. Bandung: Citra Umbara
Komentar
Posting Komentar