Langsung ke konten utama

LIPSTIK

  Siang tadi, dua oranG baik memperhatikanku,  kurang lebih 3 meter dihadapanku mereka memberi syarat padaku yang kurang lebih intinya "Pulang aja sana ! kamu pucet loh !" mereka memelankan suara karna kami sedang berada di forum yang agak resmi dengan tersenyum aku bergegas mengambil sesuatu di dalam tas kesayanganku,  tadaa.. kupamerkan Lipstk wardah yang sejujurnya warnanya agak norak, oren , atau merah bata, tidak penting intinya, aku tampak pucat karna lupa memakai lipstik, segera ku coret bibirku dengan kuas lipstik, tada, kupamerkan bibirku yang sudah menyala kepada mereka.  mereka menggeleng hah ? aku bertanya sebab tidak mengerti "matamu gak bisa bohong ! pulang sana ! istirahat!" lagi2 mereka bicara tanpa suara lekas kubuka kamera depan dari ponsel untuk melihat apa yang terjadi, "lah iya." aku hanya berkedip kedip dan tersenyum pahit. Ingin segera pulang tapi sepertinya aku butuh sekitar satu jam lagi untuk tetap berada di tempat ini ah, lipstik...

TREN DALAM PERKAWINAN

“Tren Perkawinan di Bawah Umur”
Disusun Oleh : Nur Fitria Primastuti
211-13-044
A.      Pendahuluan
Pernikahan merupakan sunatulloh dimana nikah itu sendiri merupakan kebutuhan bagi tiap-tiap individu ciptaan Allah Swt. Disamping untuk memenuhi kebutuhan biologis, menikah memilki tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta untuk meneruskan generasi agar tidak punah.
Dewasa ini, dilingkungan sekitar kita banyak terjadi fenomena penyimpanagn terhadap pernikahan , seperti yang baru-baru ini terjadi di boyolali yakni nikah sesamsa jenis yang di anggap sangat tidak masuk akal. Selain itu muncul juga tren-tren dalam perkawinan yang lain salah satunya adalah nikah di usia dini (selanjutnya perkawinan di usia dini) yang selalu menjadi topik yang tidak pernah bosan untuk dibahas dan diperdebatkan mengingat perkawinan usia dini sangat sering terjadi di masyarakat bahkan hampir di seluruh wilayah terdapat kasus perkawinan usia dini.
Perkawinan usia yang di pengaruhi oleh berbagai faktor ini memilki dampak yang beraneka ragam di masyarakat.

B.      Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh  laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang dapat menimbulkan akibat hukum . Hal ini seperti pengertian perkawinan menurut Bab I Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974  Tentang “Perkawinan”, yakni  perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan dalam Fiqh Islam, perkawinan berasal dari 2 kata , yakni An-Nikah dan Al-Wathi’ yang artinya persetubuhan, bergabung , atau berhubungan kelamin  dan juga berarti akad. Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab fiqih banyak diartikan dengan akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja ( Syarifuddin: 2003: 74)
Dalam Kompilasi Hukum Islam sendiri, pengertian  perkawinan ada dalam Bab II dasar-Dasar Perkawinan Pasal 2, Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yakni akad yang sangat kuat atau mitsaqon Gholidon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.
Ketiga Pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan atau pernikahan adalah akad yang sangat kuat antara laki-laki dan perempaun untuk membentuk sebuah keluarga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

C.      Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun dan Syarat adalah 2 hal yang perlu di ketahui dalam semua bentuk ibadah termasuk perkawinan. Keduanya memilki perbedaan yakni syarat merupakan hal-hal yang harus dipenuhi di luar tindakan ibadah itu, sedangkan rukun merupakan hal-hal yang ada dalam tindakan atau ibadah tersebut.
Perkawinan dapat menimbulkan akibat hukum, sehingga perkawinn  tidak dapat di lakukan tanpa terpenuhiya hal-hal yang harus di penuhi. Baik dalam islam maupun menurut hukum positif, terdapat syarat yang harus dipenuhi kedua calon mempelai untuk dapat melakukan perkawinan.
Menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada 5, dan masing-masing rukun itu mempunyai syarat tertentu. Syarat dan rukunnya adalah ; (1) shighat (ijab-kabul) (2) kedua calon mempelai (3) wali (4) saksi. (Ash-Shideqy: 2001: 222)
Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada : (1) Calon suami, (2) Calon istri, (3) Wali nikah, (4) Dua saksi, (5) Ijab dan Qobul
Sedangkan syarat-syarat nikah dalam UU Perkawinan di atur dalam Bab II  Syarat-syarat Perkawinan pasal 6- Pasal 12. Pasal tersebut menyubutkan syarat perkawinan  antara lain yakni perkawinan harus atas persetujuan kedua calon mempelai,kedua calon mempelai mencapai usia yang di tetapkan, kedua calon mempelai  bukan termasuk orang yang tidak boleh dinikahi.


1.        Shighat (Ijab-Qabul)
Pengertian akad nikah menurut KHI dalam pasal 1 bagian c akad nikah ialah: rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan Kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh 2 orang saksi.
2.        Sifat-sifat/ syarat calon kedua mempelai yang baik
Sifat-sifat calon mempelai yang baik seperti yang digambarkan oleh nabi Muhammad ialah dalam sebuah hadits
“Nikahilah seorang wanita yang mempunyai ciri-ciri empat dari hartanya, dari keturunannya , dari dari kecantikannya, dari agamanya. Diriwayatkan oleh Bukhari“.

Untuk syarat seorang laki-laki sama dengan sifat yang dimiliki oleh seorang wanita tinggal kebalikanya.
Syarat-syarat calon suami lainnya adalah:
a.        Tidak dalam keadaan ihrom, meskipun diwakilkan.
b.       Kehendak sendiri
c.        Mengetahui nama, nasab, orang, serta keberadaan wanita yang akan dinikahi.
d.       Jelas laki-laki
Syarat-syarat calon istri:
a.        Tidak dalam keadaan ihrom
b.       Tidak bersuami
c.        Tidak dalam keadaan iddah (masa penantian)
d.       Wanita
Dalam undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal enam:
a.        Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.
b.       Untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 harus mendapat izin orang tua.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 UU No 1 tahun 1974 yakni calon suami berumur 19 tahun dan calon istri sekurangnya berumur 16 tahun.

3.        Wali
Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak syah nikah tanpa wali laki-laki. Sesuai dengan yang dijelaskan dalam KHI pasal 19 bahwa wali nikah adalah rukun yang harus dipenui
Syarat-syarat wali :
a.        Islam
b.       Sudah baligh
c.        Berakal sehat
d.       Merdeka
e.        Laki-laki
f.        Adil
g.        Sedang tidak melakukan ihram
Sedangkan yang diprioritaskan menjadi wali:
a.        Bapak.
b.       Kakek dari jalur Bapak
c.        Saudara laki-laki kandung
d.       Saudara laki-laki tunggal bapak
e.        Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung)
f.         Kemenakan laki-laki  (anak laki-laki saudara laki-laki bapak)
g.         Paman dari jalur bapak
h.       Sepupu laki-laki anak paman
i.         Hakim bila sudah tidak ada wali –wali tersebut dari jalur nasab.
4.        Saksi
Sudah cukup jelas. Sekurang-kurangnya adalah dua orang.
D.      Pengertian Perkawinan Dini
Perkawinan Usia dini adalah perkawinan yang dilakukan oleh mempelai yang masih berusia diniatau belum mencapai batas dewasa yang ditentukan oleh Undang Undang. Dalam Hukum Perdata pasal 330, seorang dikatakan dewasa apabila telah mencapai umur 21. Sebelum munculnya UU perkawinan Tahun 1974, batas usia dewasa menurut hukum Perdata menjadi batasan  dewasa sebagai syarat minimal umur dalam perkawinan.
Setelah munculnya UU perkawinan tahun 1974, maka batas usia perkawinan menjadi lelaki 19 tahun dan perempuan minimal 16 tahun seperti yang dinyatakan dalam pasal 7 UU ini. Mengingat salah satu asas hukum bahwa UU/ Peraturan yang baru menggugurkan UU/ peraturan yang lama, maka lahirnya UU perkawinan yang salah satunya mengatur umur minimal mempelai yakni 19 untuk laki-laki dan 16 untuk perempuan menghapus/ menggugurkan aturan sebelumnya dimana umur mempelai minimla 21 tahun sesuai dalam hukum Perdata.
Sedangkan dalam fiqh sendiri tidak ada aturan mengenai batasan umur perkawinan sehingga dalam islam tidak di kenal dengan perkawinan di bawah umur, akan tetapi dalam hukum islam lebih menekankan pada kesiapan mempelai yakni kedewasaan .
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan dini adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh mempelai yang belum mencapai batas minimal sebagai calon mempelai baik salah satu mempelai atau kedua-duanya.

E.       Perkawinan Dini di Masyarakat
Perkawinan usia dini bukan merupakan suatu hal yang baru di masyarakat. Perkawinan dengan mempelai yang masih dibawah umur ini terjadi di hampir seluruh masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan. Bahkan jumlah perkawinan ini tergolong cukup fantastis.
Laporan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada bulan Juni 2011 saja untuk usia kawin pertama penduduk wanita kurang dari usia 20 tahun di seluruh Jawa Timur mencapai 6.847 orang atau 19,88 persen dari seluruh perkawinan pertama penduduk wanita di semua usia sebesar 34.443 orang. Jumlah tertinggi angka perkawinan pertama penduduk wanita usia yang sama adalah yang terjadi di Kabupaten Malang yakni dengan 887 perempuan atau 29,09 persen dari total pernikahan 3.049. Sementara prosentase tertinggi dibanding seluruh jumlah pernikahan pada usia tersebut di tempatnya adalah Kabupaten Bondowoso sebesar 196 atau 49,75 persen dari total pernikahan 394 orang.
Banyaknya perkawinan usia dini yang terjadi , di pengaruhi oleh banyak hal seperti rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai aturan batas minimal usia perkawinan, kurang pahamnya masyarakat tentang  kesehatan reproduksi dan kesiapan fisik pelaku perkawinan usia dini, adat perjodohan yang masih kuat di beberapa daerah sampai kepada  pergaulan anak yang terlalu bebas sehingga hamil diluar nikah padahal usianya masih di bawah umur, dan berbagai faktor lainnya.
Dalam sebuah iklan untuk masyarakat dari BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga berencana nasional) pernah menayangkan usia pernikahan yang ideal yakni laki-laki minimal 25 dan perempuan 21 dimana pada usia tersebut baik laki-laki maupun perempuan telah di anggap matang secara fisik maupun psikis sehingga siap untuk membangun rumah tangga.
Tidak semua masyarakat menganggap pernikahan usia dini adalah suatu hal yang negative, tapi tidak sedikit juga masyarakat yang mencemooh perbuatan orang tua yang menikahkan anaknya padahal usia sang anak tergolong masih belia. Sebab sebab terjadinya nikah usia dini antara lain disebabkan oleh hal –hal berikut:
1.        Latar Belakang keluarga yang kurang memahami batas-batas usia perkawinan
2.        Pendidikan yang rendah
3.        Tradisi penjodohan anak yang masih di bawah umur yang terjadi di beberapa masyarakat adat
4.        Untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, karena anak permepuan yang telah dinikahi akan ikut pihak suami dimana nafkah sang anak perempuan menjadi tanggung jawab suaminya sehingga keluarga merasa beban terkurangi.
5.        Untuk menjaga nama baik keluarga , bila pasangan yang melakukan perkawinan usia dini adalah pasangan yang terlanjur hamil padahal usia masih belia.
6.        Dan masih banyak lagi.
Pernikahan memang merupakan sunatulloh, dimana melakukaya adalah bentuk ketaatan kepada Allah, akan tetapi menikah di usia yang belum cukup dapat mengakibatkan hal hal yang tidak di inginkan misalnya perceraian, karena pasangan belum memiliki kematangan psikis sedangkan dalam berumah tangga perlu adanya kedewasaan di kedua pihak. Kekerasan dalam Rumah tangga yang lagi-lagi merupakan akibat dari kurang matangnya atau kurang dewasanya suami istri. Kesehatan yang terganggu karena organ-organ yang dinilai belum matang.
Berikut dampak perkawinan usia dini yang sering dijumpai dalam masyarakat:
1.      Resiko kehamilan yang tinggi karena usia organ-organ reproduksi yang kurang matang.
2.      Banyak terjadi perceraian dikalangan perkawinan usia dini sebagai akibat belum matangnya psikis di antara pihak suami maupun isteri.
3.      Keluarga yang tidak harmonis, yang disebabkan oleh psikis yang belum siap dan ekonomi yang rendah, karena pihak suami maupun isteri belum berada pada umur siap kerja sehinga tidak tercapainya pernikahan yang bertujuan membentuk keluarga yan harmonis dan bahagia
4.      Terenggutnya masa muda kedua pihak juga pendidikan yang terbatasi karena di usia belia sudah harus mengurus rumah tangga.

F.       Perkawinan Dini ditinjua dari hukum positif dan fiqh
UU Perkawinan tahun 1974 menjelaskan mengenai syarat perkawinan salah satunya adalah batasan umr calon mempelai yakni minimal 19 tahun untuk laki laki dan minimal 16 tahun untukperempuan, hal ini termuat dalam pasal 7. Meskipun sudah di beri batasan umur di bolehkanya menikah, namun masih ada saja pasangan belia yang mengajukan perkawinan kepada pihak yang berwenang setempat. Baik laki-lakinya maupun perempuanya atau bahkan keduanya belum mencapai usia minimal kawin dengan berbagai alasan. Hal ini tentu menyimpang dari hukum positif yang berlaku, khususnya UU No. 1 Tahun  1974 tentang perkawinan.
Dalam hal penyimpangan terhadap pasal 7 UU No.1 tentang perkawinan  dapat  meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang di tunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita seperti dalam Buku Hukum Perkawina Nasional karya Prof. Drs.  Sudarsono hal. 41-43 tahun 2005
Dewasa ini ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang berlaku sejak disahkanya UU perkawinan secara lengkap diatur dalam Peraturan Mentri Agama No. 3 tahun 1975, yakni :
1.        Pasal 12 menitik beratkan pada dispensasi bagi anak yang belum mencapai umur minimum, yakni  :
a.       Pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
b.      Seorang calon mempelai yang aan melangsungkan pernikahan sebelum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin sebagaimana dia atur pasal 6 ayat 2,3,4,5 UU No. 1 tahun 1974.
2.        Pasal 13 Mengatur prosedur pemahaman dispensasi bagi anak yang belum mencapai umur minimum, yakni:
a.       Apabila calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan calon istri belum mencapai 16 tahun hendak melangsungkan pernikahan harus mendapat dispensasai dari pengadilan agama
b.      Permohonan dispensasi nikah bagi mereka disebut dalam ayat 1 pasal ini, di ajukan oleh kedua orang tua pria maupun wanita kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggalnya
c.       Pengadilan agama setelah  memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan  bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka pengadilan agama  memberikan  dispensasi nikah dengan suatu penetapan.
d.      Salinan Penetapan itu di buat dan di berikan kepada pemohon untuk memenuhi persyaratan pernikahan
Jadi, menurut hukum positif, ketika calon pasangan perkawinan usia dini hendak mengajukan perkawinan maka atas ijin kedua orangtua/wali  calon mempelai harus mengajukan dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama setempat. Hakim akan menggunakan banyak pertimbangan diperbolehkan atau tidaknya pernikahan .

Sedangkan perkawinan usia dini dalam kaca mata fiqh sendiri sebenarnya tidak di atur secara mutlak karena hukum islam tidak membatasi usia minimal perkawinan. Dalam Alquran syarat orang yang ingin menikah adalah orang yang siap dan mampu, hal ini dijelaskan dalam Q.S An Nuur : 32
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui

Dalam islam yang disebut orang yang layak kawin salah satunya adalah yang sudah baligh, yakni di tandai dengan keluarnya air mani bagi laki-laki dan haid bagi perempuan. Apabila dari keduanya baik laki-laki maupun perempuan yang mengalami masalah dalam perkembangan biologisnya maka ia di anggap baligh bila telah berumur 15 (lima belas) tahun bagi pria, dan wanita berumur 9 tahun.
Terkait dengan prinsip kedewasaan dalam perkawinan, para ulama cenderung tidak membahas batasan usia perkawinan secara rinci namun lebih banyak membahas tentang hukum mengawinkan anak yang masih kecil.  
Perkawinan anak yang masih kecil dalam fiqh disebut nikah ash shaghir/shaghirah atau az-zawaj al mubakkir. Shaghir/shaghirah secara literal berarti kecil. Akan tetapi yang dimaksud dengan shaghir/shaghirah adalah laki-laki/perempuan yang belum baligh (Hussein: 2007: 90 )
Perkawinan di bawah umur tidak lepas dari hak ijbar yaitu hak wali (ayah/kakek) mengawinkan anak perempuannya tanpa harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan yang akan dikawinkan tersebut, asal saja ia bukan berstatus janda. Seorang ayah bisa mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil dan perawan selama belum baligh tanpa izinnya dan tidak ada hak khiyar bagi anak perempuan itu jika dia telah  baligh. Sebaliknya, ayah tidak boleh mengawinkan anak laki-lakinya yang masih kecil . (Ash-Shiddieqi: 2001: 232)
Ibn Syubrumah memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas. Beliau berpandangan bahwa anak laki-laki ataupun anak perempuan di bawah umur tidak dianjurkan untuk dikawinkan. Mereka hanya boleh dikawinkan setelah mencapai usia baligh dan melalui persetujuan yang berkepentingan secara eksplisit  (Hussein: 2007: 100)
Majelis Ulama’ Indonesia memberikan fatwa bahwa usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada’ dan ahliyyatul wujub)
Ahliyyatul Ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya baik perbuatan yang bersifat positif maupun negatif. 
Ahliyyatul Wujub adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya dan belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban

G.      Kesimpulan
Perkawinan usia dini adalah perkawinan yang dilakukan oleh mempelai yang usianya belum di anggap dewasa baik menurut Hukum Positif maupun Hukum Agama (Fiqh). Menurut UU perkawinan Tahun 1974 syarat usia nikah adalah laki-laki minimal 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Sedangkan dalam islam tidak mengatur tentang usia minimal perkawinan namun lebih menekankan kepada kesiapan secara lahir dan batin mempelai.
Dewasa menurut hukum islam adalah baligh, sehingga syarat nikah dalam adalah baligh. Namun dalam fiqh islam ada pernikahan anak-anak dimana ayah/kakek selaku wali menikahkan anak putrinya yang masih kecil tanpa atau dengan sepengetahuan putrinya, dengan syarat-syarat yang harus di penuhi.
Dalam pandangan masyarakat sendiri nikah diusia dini dianggap sesuatu yang biasa karena saking banyaknya pernikahan terebut terjadi di masyarakat.
Meskipun begitu, nikah diusia dini mesti di waspadai karena bila dari kedua mempelai belum memilki kematangan secara osikis maka resiko perceraian atau kekerasan sangatlah besar.
Akan tetapi pasangan belia yang masih di anggap beradapada usia dini benar-benar akan melangsungkan perkawinan maka kedua orangtua/walinya dapat mengajukan dispensasi nikah kepada pengadilan agama setempat. Bila Hakim menyetujui maka mereka boleh menikah.
Umur memang bukan satu-satunya unsur yang mesti dipatuhi dalam melangsungkan perkawinan, akan tetapi,  kematangan dan kesiapan umur mempelai dapat mengentarkan kepada keluarga yang bahagia dan kekal. Disamping umur, ilmu dari kedua calon mempelai juga harus di siapkan , Jangan sampai menjadi isteri karena sudah memilki suami, janagn sampai menjadi ibu karena sudah memilki anak, namun jadilah iseri karena sudah berilmu tentang isteri, dan jadilah ibu karena sudah berilmu tentang ibu juga.

DAFTAR PUSTAKA

(Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III Tahun 2009), 2009. Jakarta : Majelis Ulama Indonesia

Ash Shiddiqey, Tengku Muhammad Hasbi.  2001. Hukum-Hukum Fiqh Islam (Tinjauan Antar Madzhab).  Semarang : Pustaka Rizki Putra


Hussein, Muhammad, 2007. Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender),  Yogyakarta : LKiS,

Mentri Agama. 2007. Nurul Qur’an, Mushaf Al-Quran terjemah. Bandung. CV. Insan Kamil

Syarifuddin, Amir.  2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana 

Sudarsono.  2005. Hukum Perkawina Nasional. Jakarta: Rineka Cipta


Undang-Undang R.I No. 1 Th. 1974 tentang Perkawinan & Kompilasi Hukum Islam. 2015. Bandung: Citra Umbara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ihya’ Al-Mawat dan Jialah, Pengertian ,rukun dan syarat, dasar hukum ihya' Al-mawat dan Jialah / ja'alah / ju'alah

Ihya’ Al-Mawat dan Jialah Makalah Disusun sebagai tugas Matakuliah Fiqh Muamalah Dosen Pengampu Bpk. Ainun Yudhistira, S.H.I., M.H.I. Disusun Oleh: Nur Fitria Primastuti   21113044 FAKULTAS SYARIAH JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH IAIN SALATIGA April :2015 Ihya’ Al-Mawat dan Jialah A.       Ihya’ Al-Mawat 1.        Pengertian Ihya’al-Mawat Ihya’Al-Ma’wat atau menghidupkan tanah yang telah mati di maksudkan dengan menggarap tanah yang telah mati. Di kalangan fuqoha, tanah yang telah mati dimeksud dengan “Tanah yang tidak ada tuanya dan tidak lagi di manfaatkan oleh siapapun.” Di sini di maksudkan untuk mengambil manfaat atas pemanfaatan tanah tersebut. “Tidak ada pemiliknya” maksudnya adalah tanah yang tidak ada pemiliknya sama sekai, dan tidak ada bekas garapan seperti ,pondasi, tanaman ,dan lain sebagainya. “Tanah yang tidak di manfaatkan oleh seseorang “ maksudnya tanah tersebut bebas...

Batasan Ilmu Pengetahuan

Dewasa ini manusia hidup dalam besarnya perkembangan ilmu pengetahuan yangs semakin luas dan tidak pernah berhenti berkembang. Di luar itu manusia di tuntut untuk hidup dalam kebenaran dan apa-apa yang memiliki nilai yang dapat mereka jadikan acuan dalam bertindak. Lembaga kebenaran itu disebut dengan agama ,filsafat,dan seni. Kebenaran yang di percaya menjadi lembaga tertua adalah agama,ini berasal dari wahyu dan oleh penganutnya agama dinilai dan diyakini kebenarannya secara mutlak.             Tidak hanya mencakup masalah umum saja, tatapi agama mencakup hal-hal khusus dan hal-hal transendal . Seperti misalnya latar belakang penciptaan   alamsemesta,juga seisinya. Sama seperti agama yang diyakini menjadi kebenaran tertua yang nilai –nilai- nya selalu   di anggap benar meski banyak yang di luar nalar,seni pun juga begitu,tidak ada kata benar ataupun salah dalam seni,bahkan seni juga menjangkau hal-hal mendasar,un...

Warisan Kartini

April adalah bulan kartini. Bulan di mana akan kita dapati sekolah maupun Lembaga lainnya berbondong-bondong berkostum kebaya, batik, maupun baju daerah lainnya sebagai bentuk perayaan hari lahirnya Sang Pahlawan Bangsa, Ibu Kita Kartini. Selain kostum, sekolah dan Lembaga lainyya mengadakan lomba-lomba yang menurut wawancara saya kepada beberapa teman yang menjadi guru, menjadi ciri khas perayaan hari Kartini. Lomba Fashion Show, Lomba Make Up, Lomba Menari dan lomba-lomba lainyya yang erat kaitannya dengan Wanita. Tahun ini, 2024 bulan April bebarengan dengan bulan Syawal tahun Hijriyah. Beberapa sekolah dan Lembaga lain memperingati Hari Kartini dengan berkebaya, berbatik, lalu halal bihalal. Meskipun ada satu dua sekolah yang tetap memperingati Hari Kartini dengan upacara, Berkebaya, bahkan pawai kartini, Hari Kartini gak sepi-sepi amat lah. Lalu muncul sebuah pertanyaan. Apa yang sebenarnya Kartini wariskan kepada kita, generasi muda? benarkah Kartini adalah symbol perjuangan...