April adalah bulan kartini. Bulan di mana akan kita dapati sekolah maupun Lembaga lainnya berbondong-bondong berkostum kebaya, batik, maupun baju daerah lainnya sebagai bentuk perayaan hari lahirnya Sang Pahlawan Bangsa, Ibu Kita Kartini. Selain kostum, sekolah dan Lembaga lainyya mengadakan lomba-lomba yang menurut wawancara saya kepada beberapa teman yang menjadi guru, menjadi ciri khas perayaan hari Kartini. Lomba Fashion Show, Lomba Make Up, Lomba Menari dan lomba-lomba lainyya yang erat kaitannya dengan Wanita.
Tahun ini, 2024 bulan April bebarengan dengan bulan Syawal
tahun Hijriyah. Beberapa sekolah dan Lembaga lain memperingati Hari Kartini
dengan berkebaya, berbatik, lalu halal bihalal. Meskipun ada satu dua sekolah yang
tetap memperingati Hari Kartini dengan upacara, Berkebaya, bahkan pawai kartini,
Hari Kartini gak sepi-sepi amat lah.
Lalu muncul sebuah pertanyaan. Apa yang sebenarnya Kartini
wariskan kepada kita, generasi muda?
benarkah Kartini adalah symbol perjuangan perempuan ? lantas perjuangan seperti
apa ? Apakah kartini memperjuangkan kebaya ?
Jika kita berdiskusi tentang warisan kartini, tidak jauh
kita akan berhadapan dengan tulisan kartini yang kondang dalam Buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Surat-surat Kartini kepada sahabat penanya, Nn Zehandelaar. Dalam
bukunya Kartini bercerita keinginannya terbang bebas seperti burung. Bercerita
kartini akan kesedihannya dipasung oleh ada istiadat yang tidak membolehkan ia
melihat dunia dengan mata dan raganya. Hari-hari terbelunggunya raga kartini
tidak membatasai jiwanya menjelajah dunia lewat buku-buku yang dibawakan kakak-kakkanya
untuk Kartini.
Tidak hanya terpasung karena pingitan, Bercerita pula
kartini perihal kebenciannya pada adat yang menjadikan Wanita terkungkung dalam
perkawinan sebab harus sepenuhnya melayani suami sehingga ujungnya mengabaikan cita-cita serta impian-impian
Sejarah mengisahkan kartini akhirnya diijankan oleh ayahnya menjadi guru bagi anak-anak perempuan. Lewat kamar yang sempit itu kartini
berjuang agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam mengenyam Pendidikan
dan mencapai cita-cita sebagaimana laki-laki.
Kartini bukan saja hanya symbol perjuangan keadilan gender,
melainkan inspirasi bagi semua orang bahwa
baik laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki kesempatan yang sama
dalam berbagai hal, seperti akses terhadap Pendidikan, pekerjaan, ekonomi, politik,
dan lain sebagainya.
Sayangnya, Masyarakat memiliki stigma yang buruk mengenai
keadilan gender. Gambaran akan dikuasainya semua ranah kehidupan oleh perempuan sebagai hasil dari perjuangan keadilan gender merupakan ketakutan berlebihan untuk sebagian masyarakat. Misalnya, memiliki pemimpin
perempuan dianggap oleh Sebagian laki-laki adalah penghinaan baginya. Bahkan,
oleh Sebagian laki-laki, memiliki pasangan perempuan yang lebih matang secara
finansial justru dianggap saingan.
Ketimpangan gender erat kaitannya dengan Toxic Maskulinity, sebuah konsep yang
menggambarkan perilaku atau sikap maskulinitas yang merugikan, berbahaya, destruktif, baik bagi laki laki itu sendiri maupun perempuan. Anggapan bahwa
laki-laki harus menjadi pemimpin dalam segala hal dan menutup kesempatan buat perempuan.
Anggapan bahwa laki-laki harus selalu mendominasi seluruh aspek kehidupan yang
justru akan melelahkan terutama untuk laki-laki itu sendiri.
Permaslaahan ketimpangan/ketidak adilan gender adalah
permaslahan yang dari zaman Raden Ajeng Kartini hingga hari ini tidak kunjung hilang.
Kartini dalam memperjuangkan keadilan Gender, yang salah satunya untuk membebaskan
perempuan dari belenggu adat yang mengekang masih tidak menjadi inti utama
perayaan Hari kartini sejak banyak Tahun Yang Lalu.
Dalam studi kecill yang kulakukan dengan mewawancarai
belasan teman guru SD, SMP Hingga SMA, perayaan Hari Kartini masih sebtas simbolik.
Yakni dengan upacara, Memakai pakaian adat, serta peragaan busana. Tidak salah,
tentu saja.
Namun Perayaan hari Kartini akan jauh lebih bermakna manakala
Lembaga Pendidikan atau Lembaga lainnya meneruskan perjuangan kartini dalam “membebaskan
perempuan”. Bukan hanya memberikan kesempatan perempuan untuk berkarya,
berpendidikan, dan mengakses fasilitas lainnya, namun juga memberikan edukasi
kepada laki-laki bahwa tidak harus ada yang mendominasi atau didominasi dalam
kehidupan ini. Baik perempuan dan laki-laki dapat sejalan seiring dan mendapat
kesempatan yang sama. Laki-laki perlu diberikan pemahaman bahwa ia tidak berhak
bersikap buruk dan memandang rendah orang lain hanya karena ia laki-laki.
Bentuk yang lebih sederhana misalnya,
laki-laki perlu diberikan edukasi bahwa harga dirinya tidak akan hancur hanya karena
mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mencuci, dan memasak yang notabene
oleh dunia patriarki dianggap mutlak pekerjaan peremuan.
Sebagai penutup, mari kita tanyakan Kembali hal-hal apa yang
diwariskan Raden Ajeng Kartini kepada kita. Tidak ada yang salah dengan
berkebaya, peragaan busana, dan seremonial lainnya, namun apakah esensi
perjuangan Raden Ajeng Kartini yang “berani” kita warisi hanya sebatas itu saja
?
tulisan ini hanya dipublikasikan di Blog saja
Komentar
Posting Komentar