Suatu
ketika, seorang teman menunjukkan bahwa dia sudah tidak sanggup lagi meneruskan
perjalanan. Ini merupakan pertama kalinya baginya naik gunung dengan ketinggian
lebih dari 3 ribu MDPL. Aku terus memberikan semangat padanya, tetapi sia-sia.
Dia malah semakin lemas. Anganku untuk bersenang-senang di puncak tampaknya
pupus. Dia bahkan meminta kami melanjutkan perjalanan saja dan meninggalkannya
di pos terdekat. Aku hampir setuju, sampai seorang teman yang bijaksana
menyarankan untuk berhenti. Rasanya tidak adil meninggalkan seorang teman di
medan yang berbahaya hanya demi sebuah keinginan yang masih bisa diwujudkan di
kesempatan lain.
Kecewa,
tentu saja. Kami mulai membangun tenda dengan perlahan, sementara beberapa
orang memasak air untuk membuat kopi dan mie instan. Kabut mulai menyelimuti
kami bersama gerimis. Ternyata keputusan untuk berhenti tidaklah terlalu buruk
dibandingkan melanjutkan perjalanan dengan pakaian basah. Kadang-kadang kita
memang tidak selalu harus terus berjalan, terutama ketika diri dan kondisi
tidak memungkinkan. Ketidakmungkinan tersebut bisa berasal dari diri sendiri,
atau bahkan dari orang lain.
Apakah
temanku yang tidak sanggup itu salah? Tidak juga. Sebenarnya, dia memberi kami
kesempatan untuk beristirahat dan menikmati kebersamaan dengan bercerita di
dalam tenda. Ternyata, berhenti tidak selalu terlihat seburuk yang dibayangkan.
dalam petualangan hidup, terkadang berhenti sejenak adalah langkah yang
bijaksana. Ini bukanlah tanda kelemahan, tetapi keberanian untuk mengakui
batasan diri.
Komentar
Posting Komentar